HETAMI : Kewartawanan Pers dan Suara Merdeka
Teknokra.id - Buku HETAMI diterbitkan oleh Yayasan Karyawan Suara Merdeka di Semarang pada tahun 1995. Buku ini merupakan buku yang mengabadikan perjalanan hidup “Pak Hetami” yang di dalamnya memuat pelajaran dan nasihat beliau semasa hidup juga sangat bermanfaat untuk pers di seluruh Indonesia.
Sebelum penerbitannya buku ini banyak timbul pro dan kontra, namun Bambang Sadono selaku penyunting selalu mengusulkan kepada senior di Harian Suara Merdeka agar buku ini bisa disusun dan segera dipublikasikan.
Nama Pak Hetami layak untuk diabadikan, karena kelengkapanya sebagai pers bukan saja sebagai wartawan tetapi juga dikenal sebagai perintis surat kabar nasional yang menjadi tonggak dalam persiapan bertahan pada berbagai suasana dan perubahan. Mengutip salah satu pandangan dari Pak Hetami “Menjadi wartawan juga membuat orang mudah terkenal dan dikenal. Nama Hetami tanpa Suara Merdeka maka tidak artinya”
Dalam buku ini menceritakan perjalanan masa perintisan Suara Merdeka yang bermula pada zaman Jepang, saat di Semarang oleh Jepang diterbitkan harian Sinar Baru, yang dipimpin oleh Oom Pa-Ha (parada harahap).
Hetami adalah salah satu redakturnya, ketika Jepang menyerah dan Indonesia merdeka Sinar Baru diambil alih oleh Hetami dan Soejoto kemudian diterbitkan Harian Warta Indonesia. Namun dari situ Pak Hetami merasa kurang puas, ia memiliki gagasan ingin menerbitkan harian dengan masa depan yang lebih cerah.
Ketika alat - alat percetakan yang dikumpulkan Hetami sudah dirasa cukup, lalu diangkut ke Semarang. Begitu sampainya di Semarang Tawang, alat - alat percetakan masuk ke Jl. Merak sebagai modal pertama mendirikan percetakan di Semarang.
Pak Hetami bangga dan meyakini nilai luhur dari profesinya menjadi seorang pers, hingga lawan bicaranya tak akan bisa menolak ajakannya. Ajaran pertama Pak Hetami untuk orang yang baru memulai jejak karirnya di dunia pers kepada calon wartawan, yaitu mereka pernah diminta naik bus umum dari Jatingaleh menuju Johar.
Pak Hetami meminta mereka untuk menulis apa saja yang dilihat dalam perjalanan yang pendek itu. Ternyata tidak banyak yang dapat para calon wartawan itu ceritakan, bahkan salah satu dari mereka mengatakan tidak melihat kejadian apapun. Dari situlah Pak Hetami bercerita tentang bakat extrovert, introvert, dan ambivert.
Menurut Pak Hetami, untuk menjadi wartawan sangat membutuhkan orang yang bersifat
extrovert. Tetapi, untuk menjadi extrovert tentunya bisa dilatih. Dengan
membiasakan mengarahkan perhatianya keluar dimana pun berada. Ternyata, memang
lingkungan sekitar penuh dengan bahan untuk diberitakan atau dijadikan bahan
kupasan atau tulisan. Asal kita mau buka mata, buka telinga, dan buka hati.
Buku ini dapat menginspirasi para pembaca yang sedang memulai ataupun mendalami dunia pers. Buku ini juga dapat menjadi motivasi dan pembelajaran bagi para calon wartawan yang diambil dari perjalanan Pak Hetami dalam menempuh karirnya sebagai perintis Suara Merdeka sekaligus wartawan.
Kekurangan dari buku ini adalah penataan bahasa dan beberapa tanda baca yang kurang tepat dalam buku ini. Buku ini mengutip beberapa point of view dari narasumber dibeberapa bagian terdapat kalimat yang sulit dimengerti. Selebihnya buku ini menjadi buku biografi yang wajib dibaca oleh para calon pewarta sebagai inspirasi dalam menitih karir di dunia pers. (Penulis : Nydia Ariella)