Mengulik kisah, Salahkah Menjadi Minoritas
Teknokra.id- Pagi itu, kami bersama mendatangi salah satu gereja di kota bandarlampung. Gereja itu bernama Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan atau lebih dikenal dengaan GKSBS Tanjungkarang. Tak sulit untuk menemukan gereja ini, karena letaknya yang berada di pusat kota.
Waktu itu hampir jam 7 pagi, di depan Gereja sudah berdiri seorang Pria berkacamata menyambut kami. ia melebarkan senyumnya, lalu menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan kami satu persatu. Pria tersebut adalah Yusep Windu Ari Wibowo yang akrab disapa Yusep, seorang Penatua II atau jemaat yang dipercaya untuk mengurus gereja.
Tak lama berbincang, ia menuntun kami untuk masuk ke dalam gereja. TerIihat disana para jemaat gereja telah memenuhi kursi yang disediakan. “Sudah pukul 07.00,” kata Yosep. Pertanda ibadah pagi itu akan segera dimulai. Gereja berlantai dua itu memang tak pernah sepi dari jamaat.
Sejak berdirinya pada tahun 1980an hingga kini, GKSBS Tanjungkarang telah memilikilebih dari 600 jemaat. Jumlah jemaat yang cukup banyak ini, bukan tanpa masalah. KapasitasGereja yang tidak mencukupi, membuat pelayanan di Gereja harus dilakukan tiga kali dalam satuminggu. Hal tersebut sebagai upaya agar setiap jemaat mendapat waktu untuk beribadah. Tentuini menjadi catatan, karena dengan keterbatasan tersebut membuat jemaat tidak leluasa dalam beribadah.
Namun bukan tanpa usaha, keterbatasan tempat membuat pengurus gereja mengupayakan adanya tempat lain untuk beribadah. Tidak bisa disebut Gereja, rumah sederhana itu mereka sebut sebagai rumah ibadah. Itulah yang bisa mereka upayakan saat ini. Keadaan ini mungkin berbanding terbalik, ketika awal berdirinya GKSBS Tanjungkarang.
Saat itu, Gereja sempat mendapat kesulitan dalam melakukan perizinan tempat ibadah. Salahsatu alasannya karena jumlah jemaat yang kurang. Bukan karena tidak ada pemeluk Kristen disana, namun lebih tepatnya karena tempat tinggal jemaat yang tidak semua berada dilingkungan tersebut. Sehingga tidak terlihat ada, karena tidak berkumpul disatu tempat.
Di GKSBS Tanjungkarang terdapat dua kelompok ibadah, yaitu ibadah umum dan ibadah pemuda atau remaja. Ibadah umum ditujukan untuk jemaat umum yang sudah menikah atau orang tua. Sedangkan ibadah pemuda atau remaja lebih khusus ditujukan untuk jemaat pemuda disana.
Bersama Penatua II kami berkesempatan untuk mengikuti proses ibadah pemuda atau remaja. Letaknya berada dilantai dua gereja. Tempat ini juga menjadi tempat berkumpulnya para pemuda gereja disana. Tak ada yang berbeda dari proses ibadah kristiani lainnya.
Khitmat, itu yang bisa kami rasakan, tatkala ibadah dimulai. Setiap pemuda mengambil seruan ibadah dengan suka cita. Dalam hal ini mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada pemuda kristiani adalah tujuan utama. Yusep menyadari bahwa mereka berada di masyarakat yang heterogen. Sehingga menumbuhkan toleransi dan nilai-nilai kebaikan penting untuk pemuda kristiani.
Berada di lingkungan masyarakat yang heterogen, tentu jadi tantangan tersendiri bagi umat kristiani. Mereka seringkali mendapat perlakuan yang kurang baik. Kepercayaan mereka sering membuat mereka dalam situasi sulit. Bahkan, Yusep berujar pernah mengalami diskriminasi hingga membuatnya takut.
“Dulu pernah ada (diskriminasi) tapi sudah selesai, Di rumah sempat khawatir ketika ingin melakukan ibadah. Jadi harus lapor RT (Rukun Tetangga),” ujarnya.
Bahkan, beberapa tahun silam ketika sedang beribadah natal, GKSBS Tanjungkarang pernah dilempar bom oleh orang tak dikenal. Beruntung bom tersebut tidak sampai meledak, hanya terkena tembok Gereja. Namun begitu, peristiwa tersebut tak bisa dilupakan begitu saja. Karena hingga saat ini pelaku belum tertangkap.
Kasus seperti Yusep, bukanlah satu-satunya. Diberbagai lini sosial masih terdapat banyak ketimpangan sosial yang mesti mereka hadapi. Dalam lingkup sekolah misalnya. Tak ada tempat ibadah, bahkan tidak tersedia guru mata pelajaran agama Kristen diberbagai sekolah negeri di Indonesia. Selain itu, masih sering terjadi diskriminasi di lingkungan sosial terhadap agama yang berbeda.
Dito Dwi Kurnia, Ketua Pemuda GKSBS Tanjungkarang mengaku temannya sampai mengurung diri di kamar karena sering mendapat candaan yang kurang baik dari temantemannya. Candaan itu berakar dari kepercayaannya yang berbeda.
“Teman saya pernah mendapat kata yang kurang baik, dia sampai nggak berani keluar dari rumah. Dia disitu (pergaulannya) menjadi minoritas. Tapi saya berikan motivasi akhirnya dia berani keluar lagi. Saya bilang ke dia sebagai minoritas kita tidak boleh masukin ke hati (becandaan itu). Kita kan tetep perlu juga untuk bersosialisasi,” ujarnya.
Apa boleh buat, candaan berbau rasis saat ini masih sering dinormalisasikan dalam kehidupan sosial. Dito melanjutkan, dengan teman-temannya ia sering diminta untuk membaca suatu kalimat agar masuk agama lain.
“Ayo login (masuk agama lain) baca ashadu,” katanya.
Hal serupa juga dialami oleh teman-teman Dito yang lain sebagai pemeluk agama minoritas. Bahkan Dito dan teman-temannya mengaku menjadi terbiasa dengan candaan tersebut.
“ Kalau buat saya lebih ke memposisikan diri aja ketika bercanda. Kita kan nggak tau ada orang yang terlalu sensitif kalau dibercandain bisa cepat marah, ada juga yang nggak,” ujarnya.
Harapan Dito dan teman-temannya cukup sederhana. Kepercayaan mereka adalah suatu hal yang mutlak. Mereka hanya ingin beribadah dengan tenang dan diterima oleh masyarakat. Satu kata yang pasti, Toleransi.