Menilik Realita Kehidupan Waria di Tengah Stigma Lewat Film Pendek 'On Friday Noon'
Teknokra.id - Sudah menjadi tabiat manusia selalu memandang aneh hal yang tak wajar ataupun yang tak serupa seperti yang pada umumnya. Stigma negatif terhadap waria bak melekat di kalangan masyarakat. Jangankan bercengkrama, hendak menegur saja enggan. Parahnya lagi, waria menjadi bahan ejekan secara terang-terangan di kalangan anak-anak dan bahan gunjingan dalam bingkai bisik-bisik di kalangan dewasa sampai yang tua.
Alangkah bingung menjadi transgender, mau kesana ditangkap aparat, mau kesini didiskriminasi warga. Meskipun memiliki latar sosio-kultural yang berbeda, tak dapat dibenarkan untuk melakukan tindakan yang mengurangi hak-hak transgender sebagai manusia. Acap kali hak-hak transgender tak terpenuhi karena pandangan masyarakat yang menganggap transgender itu berperilaku kurang baik dan menyamaratakannya. Padahal tak semua transgender berperilaku tidak baik, toh manusia yang bergender seperti umumnya saja ada yang berperilaku baik adapula yang perilakunya bejat.
On Friday Noon, menjadi film pendek yang membeberkan sulitnya waria mendapatkan salah satu haknya sebagai manusia yakni hak beribadah. Wina, dikisahkan sebagai seorang transgender yang berkeyakinan bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk menunaikan sholat Jum'at yang pada hakikatnya adalah kewajiban seorang pria Muslim.
Selalu dilematis, seperti tak ada habisnya jika mendebatkan hukum ibadah Sholat Jum'at bagi para waria. Disamping hal itu, sebagai masyarakat, seyogyanya tak boleh merenggut hak waria untuk mendapatkan akses beribadah. Fasilitas ibadah dan lingkungan religi bahkan diyakini sebagai tempat yang dapat memperbaiki akhlak dan perilaku seseorang. Bukankah waria juga memiliki kesempatan yang sama? kenapa dibatasi, padahal mau menuju ke arah yang baik.
Scene awal film ini menampilkan Wina dan teman warianya yang diangkut mobil Satpol-PP. Gerak-gerik Wina menampakkan raut gelisah, karena hari itu adalah harinya untuk menunaikan Shalat Jum'at. Mendapati mobil Satpol-PP yang tiba-tiba mogok, ini adalah kesempatan Wina untuk kabur. Sontak Ia langsung bergegas turun kabur dari mobil dan lari di tengah tempat gersang, cuaca terik yang sepi, dan tanpa tahu arah. Tujuannya satu, mencari masjid untuk Sholat Jum'at. Menghindari kejaran petugas Satpol-PP, Wina bersembunyi di dalam bangunan kuburan.
Unik, biasanya orang-orang di scene film akan bersembunyi di gubuk ataupun semak. Sang sutradara, Luhki memberikan penggambaran luar biasa melalui metafora plot film yang Ia garap. Gersang, terik, dan sepinya lokasi seolah seperti keadaan waria yang terasing dan kehidupan sosialnya yang penuh dengan konflik-konflik panas. Kuburan mengingatkan manusia bahwa yang hidup pasti akan mati, bahwa apa yang dilakukan akan menjadi tanggung jawab masing-masing kelak.
Akhirnya Wina menemukan sebuah warung untuk menanyakan lokasi masjid. Jelas, raut si penjual di warung seolah balik bertanya "Mengapa seorang waria menanyakan masjid dan hendak melaksanakan sholat Jum'at",. Wina juga beritikad meminjam sarung pada si penjual, sayang permohonannya tak dikabulkan. Hal ini menggambarkan cara pandang masyarakat terhadap waria, pun memvisualisasikan bagaimana faktor gender seseorang (Wina sebagai peminjam) khususnya waria mempengaruhi keputusan yang akan dibuat oleh orang (Penjual yang memiliki sarung) itu.
Tak sampai disitu, di tengah jalan Wina harus mengendalikan emosinya saat menghadapi anak-anak yang mengejek dirinya. Padahal Wina tak berniat melirik atau mengganggu anak-anak tersebut. Ini menunjukan bahwa stigma negatif terhadap waria sudah melekat di masyarakat bahkan di kalangan usia yang sangat belia. Betapa pentingnya pendidikan karakter dan seksualitas harus tersampaikan dengan baik dan benar kepada anak-anak.
Perjalanan yang terjal, nampak tak berujung, tapi tekad Wina masih kuat. Tak habis-habis ujiannya, saat hendak menggunakan kamar mandi umum, Wina dilecehkan oleh laki-laki penjaga kamar mandi. Transgender adalah kaum yang rawan mendapat stigma, streotip, pelecehan, bahkan kekerasan. Sebuah pembuktian bahwa tindak laku baik buruknya seseorang tak dapat disamaratakan atas orientasi seksualnya. Tak seluruhnya transgender itu perilakunya negatif seperti stigma masyarakat, dan tak seluruhnya juga manusia dengan gender seperti pada umumnya itu perilakunya baik.
Sudah selayaknya penonton merasakan sentilan-sentiln lewat dialog dan visualisasi dalam film pendek ini. Pentingnya pemenuhan hak asasi manusia, pentingnya upaya pemerintah dan masyarakat dalam meberikan fasilitas keagamaan untuk bersama-sama menuju ke arah kebaikan, dan pentingnya pendidikan karakter serta pendidikan seksual sejak usia anak-anak adalah beberapa poin yang perlu diwujudkan untuk menciptakan kehidupan sosial yang harmonis.
Sayangnya film 13 menit ini dan film-film serupanya menjadi tak lebih banyak ditonton oleh masyarakat, menjadi tak lebih banyak diketahui dan tak lebih disukai ketimbang konten mukbang dan sinetron yang punya ratusan bahkan ribuan episode (Penulis: Silvia Agustina).
On Friday Noon | 2016| Durasi: 13 menit|Sutradara : Luhki Herwanayogi | Produksi : Cress Pictures | Genre : Drama | Pemain: Satriyo Haninditho, Sandi Paputungan, Bagus, Nanang, Koko Prasetyo | Negara: Indonesia.